01/12/2024

Tantangan Guru Masa Kini: Mengembalikan Makna Belajar


PENDIDIKAN di Indonesia saat ini berada di titik kritis. Transformasi besar akibat disrupsi digital menawarkan peluang sekaligus tantangan yang berat.

Di satu sisi, teknologi membuka akses tanpa batas ke berbagai sumber belajar. Di sisi lain, ia menciptakan kondisi yang sering kali menjauhkan siswa dari makna sejati pendidikan. Di tengah derasnya perubahan, peran guru menjadi semakin krusial untuk mengembalikan makna belajar yang sejati.

Jean Baudrillard (1994), dalam konsepnya tentang hiperrealitas, menggambarkan bagaimana realitas kerap tersamarkan oleh simulasi. Dalam konteks pendidikan, ini berarti siswa sering terjebak dalam ilusi pembelajaran yang diciptakan oleh teknologi.

Berbagai platform digital menjanjikan kemudahan belajar, tetapi kerap meninggalkan substansi yang esensial. Siswa mungkin terlihat aktif, tapi sering kali apa yang dipelajari hanyalah interaksi dangkal dengan citra digital, tanpa pemahaman mendalam.

Lebih jauh, Neil Postman dalam The End of Education (1995) mengingatkan bahwa pendidikan yang kehilangan maknanya hanya akan menjadi proses mekanistik—efisien secara teknis, tetapi hampa secara moral dan intelektual.

Ketika pendidikan hanya diarahkan untuk memenuhi tuntutan pasar atau menguasai keterampilan teknis, tujuan utama pendidikan, yaitu membentuk manusia yang utuh, perlahan terabaikan.

Guru, sebagai garda terdepan pendidikan, menghadapi tantangan besar di tengah gelombang perubahan ini. Teknologi tidak hanya mengubah cara siswa belajar, tetapi juga menuntut guru bertransformasi.

Namun, kenyataannya masih banyak guru yang belum sepenuhnya siap berdamai dengan perubahan.

Sebagian bertahan pada metode lama yang sudah tidak relevan. Sementara sebagian lagi mencoba mengadopsi teknologi tanpa memahami esensinya. Kedua sikap ini memperparah keterasingan siswa dari makna pendidikan.

Kurikulum yang kian menitikberatkan pada literasi digital, coding, dan keterampilan teknis lain memang penting, tetapi apakah itu cukup?

Ketika siswa hanya diarahkan untuk menguasai teknologi, tanpa bimbingan nilai yang membentuk karakter mereka, proses belajar menjadi kehilangan arah.

Pendidikan menjadi sekadar alat produksi tenaga kerja, alih-alih wahana untuk menanamkan makna hidup yang lebih mendalam.


Tidak ada komentar: